“Nothing’s Impossible!” Kawan, familiarkah telinga kita dengan peribahasa
tersebut? Sepertinya kita akan menjawab
“IYA”, sesuatu yang terlihat sulit
menjadi mudah untuk dicapai jika kita percaya. “Nothing’s Impossibe” yang dalam
bahasa Indonesia berarti “ Tak ada yang tak mungkin”.
Kemudian, jika peribahasa ini diucapkan oleh diri kita pribadi,
pertanyaannya adalah sudahkah kita mampu melawan rasa pesimis pada diri kita
dalam menghadapi hal yang sulit? Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin,
jika kita mempercayainya dan mau memperjuangkannya dengan sabar.
Saya pun pernah belajar dari
pepatah tersebut saat mengayuhkan sepeda. Merupakan hasil refleksi saya akan
suatu pengalaman bersepeda yang tidak akan pernah terlupakan. Pengalaman
tersebut adalah pengalaman bersepeda ke daerah Pundong dengan menggunakan
sepeda yang sebenarnya kurang tepat digunakan pada medan yang saya tempuh ini.
Bersama dengan tiga teman saya (mereka adalah Primasta, Rake, dan Dito),
kami hendak melakukan perjalanan bersepeda menuju Air Terjun Pundong. Saya
menggunakan sepeda WimCycle Vulcan yang merupakan sepeda lama saya yang
shifternya sudah tidak berfungsi. Karena menurut informasi yang saya dapat
bahwa medan menuju tempat tujuan tidak berat, maka saya berani menggunakan
sepeda itu.
Dalam perjalanan, kami menyusuri hamparan sawah nan hijau di sepanjang
pedesaan daerah Bantul. Kami menerobos jalan-jalan perkampungan di daerah
Bantul. Dari perempatan Manding kami bergerak ke kiri menuju arah Pundong. Begitu
sampai di perempatan Pundong kami lurus
ke selatan hingga menjumpai jembatan gantung Soka Pundong yang menjembatani Desa Seloharjo dan Desa
Srihardono.
Saat kami melewati Jembatan gantung Pundong, kami mengambil beberapa foto
sebentar. Kami tak mau melewatkan pemandangan keren dari jembatan ini. Jembatan
dengan latar belakang perbukitan ini cukup bagus pemandangannya. Sepedaku aman,
pikirku. Dengan bermodalkan sepeda lawas , saya cukup puas bisa bersepeda
hingga menjangkau tempat ini.
Cukup puas mengambil foto di jembatan Pundong, kami bergerak ke arah kiri
jembatan. Ada dua tanjakan yang harus ditaklukkan. Disinilah saya mulai diuji
untuk menaklukkan tanjakan. Tanjakan bisa saya lewati meski dengan mengeluarkan
cukup tenaga. Sepeda saya masih bisa diajak kompromi lagi, berarti masih aman,
pikir saya lagi.
Jalanan beraspal yang kami lewati berubah jadi jalan berbatu dan licin
ketika memasuki dusun Bobok Tempel, desa Seloharjo. Saat ada jalan menuju SD
Muhammadiyah Kalinampu kami masuk dan lurus mengikuti jalan tersebut hingga
menjumpai gapura. Inilah tantangan yang kedua, dimana saya harus menuntun
sepeda saat melewati medan off-road
(licin dan berbatu). Akses jalan yang berbatu dan licin cukup menyulitkan kami
sehingga kami pun harus nuntun pit
sampai ke tujuan.
Saat sudah sampai tujuan, kami cukup senang karena air terjunnya deras
dan tidak ramai pengunjung. Air terjun ini belum banyak dikenal. Masyarakat
sekitar juga belum mengembangkannya sebagai obyek wisata. Sayang sekali menurut
saya karena air terjun ini cukup indah. Air terjunnya cukup tinggi dan airnya
cukup deras. Saya berharap masyarakat sekitar segera tergerak untuk
mengembangkan air terjun ini.
Cukup senang sudah bisa menginjakkan kaki di Air Terjun Pundong, teman saya
lalu mengajak melanjutkan perjalanan menuju Goa Jepang Pundong. Ajakannya saya
terima karena katanya Goa Jepang Pundong berada tak jauh dari air terjun
Pundong. Maka, bergegaslah kami menuju Goa Jepang Pundong.
Dari air terjun Pundong kembali ke
jalan arah selatan menuju ke jalan Parangtritis (jalan masuk ke timur jembatan
Kretek). Kami Ikuti jalan aspalnya hingga tak lama kemudian dapat
dijumpai papan penunjuk arah lokasi Goa Jepang setelah tanjakan.
Menurut info yang saya dapat dari www.Wikipedia.org, Goa Jepang Pundong ini terletak di dusun
Ngreco, dan Poyahan, Desa Seloharjo, Pundong, Bantul. Goa ini merupakan salah
satu peninggalan Jepang di Yogyakarta pada masa Perang Dunia II. Dibangun di
atas bukit dan berfungsi sebagai tempat persembunyian tentara
Jepang.
Saya kembali diuji saat menuju Goa Jepang Pundong. Sepanjang perjalanan
menuju Goa Jepang adalah jalur yang berupa tanjakan dengan tebing dan jurang
yang menjulang di sisi jalan dan jurang di sisi lainnya. Ibarat menjalani
hidup, setiap manusia pasti akan mendapat ujian. Di sinilah kesabaran dan
semangat saya dipertaruhkan. Tanjakan demi tanjakan, tikungan demi tikungan,
bahkan beberapa tanjakan maut harus saya nikmati. Saya lebih sering nuntun
sepeda daripada menaikinya. Selain karena sepeda saya tidak mumpuni untuk medan
tanjakan, waktu itu saya juga sedang belajar bersepeda nanjak.
Lantaran energi saya banyak terkuras saat menikmati tanjakan, saya pun
berhenti istirahat tiga kali. Sempat terpikir untuk tidak melanjutkan
perjalanan karena ada warga sekitar yang menyarankan demikian. Medan serta
panjang lintasan tanjakan yang tidak mumpuni untuk sepeda saya. Ah, lemah
sekali semangat saya. Namun, dukungan dari teman-teman akhirnya dapat membesarkan
hati untuk terus melanjutkan perjalanan. Saya anggap tanjakan-tanjakan itu
sebagai teman perjalanan yang harus dinikmati, bukan sebagai lawan yang harus
ditaklukkan.
Setelah berjuang melalui beberapa tanjakan akhirnya kami sampai di lokasi
goa jepang yang pertama. Goa Jepang ini
terdiri dari enam belas goa yang berderet hingga sampai di puncak perbukitan. Beranjak dari goa pertama, saya lanjutkan untuk
menjelajah ke goa-goa lainnya.
Perjalanan yang menguras banyak energi ini terbayarkan dengan adanya
pemandangan yang indah begitu sampai di puncak bukit Pundong yang menghadap
Pantai Parangtritis. Di sini, saya dimanjakan oleh pemandangan syahdu Goa Jepang
yang berhiaskan pemandangan Pantai Parangtritis serta rimbunnya pohon di sekitar
bukit. Seakan-akan saya enggan pindah dari tempat ini. Setelah terpuaskan oleh
pemandangan indah ini, kami lalu turun bukit dan kembali pulang.
#Pemandangan dari puncak bukit Pundong yang sangat indah
Suatu pengalaman memang selalu membawa pelajaran atas hasil refleksi
terhadap apa yang telah terjadi. Ya, cukup membukakan mata saya bahwa kemudahan
tidak datang dengan cuma-cuma. Kemudahan
akan datang sesudah kesulitan. Sebenarnya, kalimat "tak ada yang tak mungkin
/ nothing’s impossible" akan menjadi
lebih bijak jika di lengkapi menjadi "tak ada yang tak mungkin sebelum
dicoba dan jika tak mengenal putus asa". Meski dalam pengalaman saya ini baiknya
saya seharusnya perlu mengetahui dahulu gambaran medan yang hendak ditempuh. Adalah
sangat penting untuk menyesuaikan jenis sepeda yang hendak dipakai dengan medan
yang akan ditempuh. Setidaknya untuk meminimalisir segala resiko yang bisa
terjadi.
Akhir cerita, mungkin apa yang
pernah diutarakan oleh R.A. Kartini di bawah ini bisa menjadi pegangan hidup
kita:
“Jangan pernah menyerah jika kamu masih ingin mencoba. Jangan biarkan
penyesalan daaing karena kamu selangkah lagi untuk menang,” RA Kartini
Tidak ada perjuangan yang sia-sia, begitu pun saat kita bersepeda. Ambil sepedamu dan teruslah berjuang mengayuhnya
hingga sampai di tujuan :)