Dunia pendidikan di Indonesia saat ini baru menjadi sorotan yang
cukup tajam baik oleh kalangan pendidik, siswa maupun masyarakat pada
umumnya.Pembicaraan bukan pada sisi positifnya melainkan cenderung ke
hal-hal yang bersifat negatif. Carut-marutnya dunia pendidikan di
Indonesia menghiasi berbagai masmedia baik cetak maupun elektronik.
Sistem pendidikan di bumi tercinta ini memang belum stabil yang ditandai dengan munculnya kekacauan sistem yang berlaku selanjutnya berimbas pada ketidakberhasilan siswa dalam perolehan hasil akhir lewat jalur formal .Hari ini Unas Paket A dan B Digelar, 60% Peserta dari Pendidikan Formal. ( Kedaulatan Rakyat ,Selasa Wage 26 Juni 2007 ). Dari data ini menunjukkan bahwa siswa yang gagal dalam menempuh Unas secara formal cukup banyak.Ketidakberhasilan ini pasti aka menambah parahnya situasi yang memang sudah kacau sebelumnya.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Marilah kita tengok kembali apakah sebenarnya maksud pendidikan itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi kedua , pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses, perbuatan, cara mendidik. Selanjutnya untuk mendewasakan manusia muda membutuhkan cara yang sesuai dan untuk memperoleh hasil yang maksimal , dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak. Sedangkan kurikulum itu sendiri adalah kerangka sebagai wadah yang dipakai sebagai acuan oleh para pelaku pendidikan untuk memudahkan dan menyeragamkan hal-hal yang akan dicapai. Kurikulum menjadi pedoman kea rah mana pendidkan akan dibawa.
Dalam perjalanan ternyata kurikulum mudah sekali berubah. Komentar yang sering terdengar berkaitan dengan hal itu , “ Ah, biasa , ganti menteri ya ganti kebijakan alias ganti kurikulum.”
Perubahan ini semula dilakukan dengan alasan memperbaiki sistem pendidikan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia . Namun kenyataannya pergantian kurikulum kurang memberikan perubahan seperti yang diharapkan , bahkan terkesan kurang dipersiapkan secara matang sehingga terjadi kekacauan. Hal ini bias kita lihat dari para guru yang secara tidak sadar berkeluh kesah kepada siswa tentang kebingungannya menyikapi kurikulum baru .
Kita sebagai siswa yang dijadikan objek dalam pendidikan hanya bisa bertanya-tanya, “ Apa sebenarnya maksud pergantian kurikulum ini ?” Yang bisa kita rasakan adalah semakin repot dan tentu saja yang lebih pusing adalah para guru kita.. Belum selesai mencermati kurikulum yang baru saja berlaku tiba-tiba harus ganti dengan yang baru. Seperti yang kita ketahui sekarang ini , para guru baru saja mencoba mengakrabi Kurikulum Berbasis Kompetensi ( KBK ) bahkan belum bisa menemukan solusi yang tepat untuk menyikapi pelaksanaan ujian yang memunculkan beberapa protes yang banyak dimuat di beberapa waktu yang lalu , tiba-tiba ada instruksi bahwa setiap sekolah wajib dan harus menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ) yang terkesan terburu-buru. Munculnya KTSP ini pun tak urung menuai banyak pro dan kontra.
Perubahan ini dilakukan dengan harapan mengejar ketertinggalan dengan Negara lain. Dengan adanya globalisasi mampu membuka cakrawala berpikir masyarakat secara global . Apa yang terjadi di luar negeri dan dianggap baik bisa memberi aspirasi kepada sementara masyarakat kita untuk menerapkan di Negara kita ( Suprapto, 2005)
Padahal sebenarnya kita bisa menempuh debgan cara lain yang lebih arif. Frans Magnis Suseno seorang tokoh pendidikan berpendapat bahwa ,Pendidikan bukan semata soal “policy”. Pendidikan adalah sebuah keberanian untuk takut, kita harus berani untuk melakukan jalan lain . Masalah pendidikan yang ada di Indonesia cukup berlimpah, tapi perlu segera dibenahi dan yang paling penting adalah sektor pendidikan dasar 9 tahun bisa dinikmati semua bangsa dan tujuan pendidikan perlu ditinjau kembali.(Magnis, 2006)
Pro kontra adanya perubahan sistem pendidikan sulit untuk diberikan jalan tengah., terbukti dengan terus adanya perubahan yang relatif cepat.
Sampai sekarang ini Indonesia sudah mengalami perubahan sebanyak delapan kali , pertama tahun l947 kemudian tahun l952, tahun l968 dilanjutkan tahun l975, tahun l984, tahun l994 selanjutnya kurikulum 2004 dan dilanjutkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.(Drs.Sudaryono, 2006 )
Dengan kurikulum yang terakhir ini harapannya semua sekolah harus mengembangkan kurikulum masiong-masing. Menurut para guru , beliau diberi kebebasan mengembangkan sendiri-sendiri sesuai dengan karakteristik daerah, lingkungan dan kondisi siswanya.
Menyikapi hal ini T.Riyanto dalam buku Pembelajaran sebagai Proses Bimbingan Pribadi memberi solusi :Akan lebih senang jika pembelajaran memiliki ciri bertujuan mengembangkan daya imajinasi dan mengembangkan ketrampilan berkomunikasi, mengembangkan perasaan seseorang untuk menghadapi realitas kehidupan. ( T.Riyanto, 2002 )
Dengan cara yang diberikan oleh Riyanto di atas harapannya kurikulum tidak lagi mudah berubah karena guru bisa bebas berkreasi , mengembangkan wiri sesuai profesi . Sebaliknya siswa yang menerima beban kurikulum tidak merasa tertekan dan kadang merasa kasihan jika mendengarkan keluh kesahnya guru – guru dalam melaksanakan tugas dan yang paling berat adalah dalam penentuan kelulusan.
Memang sistem pendidikan di negara kita belum stabil, perubahan terus mengikuti seiring dengan bergantinya kepemimpinan , seolah-olah mengikuti selera pemimpinnya. Meski semua itu belum tampak adanya perubaha ke arah yang lebih maju.
Tentu saja hal ini membutuhkan penanganan yang serius dari para pelaksana pendidikan . Seterusnya kita para pelajar sudah semestinya ikut ambil bagian dalam mewujudkan sistem pendidikan yang mantap dengan cara rajin belajar, kritis untuk memecahkan permasalahan dan siap melaksanakan tugas dalam menghadapi tantangan zaman.
Sebaiknya kita tidak perlu risau sebab justru akan menjadikan diri kita ogah-ogahan tak punya semangat yang akan membuat pola pikir pelajar terbelenggu dengan suasana yang serba semu. Begitu pula para guru bisa bebas mengembangkan kreasinya tanpa dibebani urusan perubahan kurikulum dan pendidikan di Indonesia menjadi lebih cerah.. Semoga !
Sistem pendidikan di bumi tercinta ini memang belum stabil yang ditandai dengan munculnya kekacauan sistem yang berlaku selanjutnya berimbas pada ketidakberhasilan siswa dalam perolehan hasil akhir lewat jalur formal .Hari ini Unas Paket A dan B Digelar, 60% Peserta dari Pendidikan Formal. ( Kedaulatan Rakyat ,Selasa Wage 26 Juni 2007 ). Dari data ini menunjukkan bahwa siswa yang gagal dalam menempuh Unas secara formal cukup banyak.Ketidakberhasilan ini pasti aka menambah parahnya situasi yang memang sudah kacau sebelumnya.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Marilah kita tengok kembali apakah sebenarnya maksud pendidikan itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi kedua , pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses, perbuatan, cara mendidik. Selanjutnya untuk mendewasakan manusia muda membutuhkan cara yang sesuai dan untuk memperoleh hasil yang maksimal , dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak. Sedangkan kurikulum itu sendiri adalah kerangka sebagai wadah yang dipakai sebagai acuan oleh para pelaku pendidikan untuk memudahkan dan menyeragamkan hal-hal yang akan dicapai. Kurikulum menjadi pedoman kea rah mana pendidkan akan dibawa.
Dalam perjalanan ternyata kurikulum mudah sekali berubah. Komentar yang sering terdengar berkaitan dengan hal itu , “ Ah, biasa , ganti menteri ya ganti kebijakan alias ganti kurikulum.”
Perubahan ini semula dilakukan dengan alasan memperbaiki sistem pendidikan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia . Namun kenyataannya pergantian kurikulum kurang memberikan perubahan seperti yang diharapkan , bahkan terkesan kurang dipersiapkan secara matang sehingga terjadi kekacauan. Hal ini bias kita lihat dari para guru yang secara tidak sadar berkeluh kesah kepada siswa tentang kebingungannya menyikapi kurikulum baru .
Kita sebagai siswa yang dijadikan objek dalam pendidikan hanya bisa bertanya-tanya, “ Apa sebenarnya maksud pergantian kurikulum ini ?” Yang bisa kita rasakan adalah semakin repot dan tentu saja yang lebih pusing adalah para guru kita.. Belum selesai mencermati kurikulum yang baru saja berlaku tiba-tiba harus ganti dengan yang baru. Seperti yang kita ketahui sekarang ini , para guru baru saja mencoba mengakrabi Kurikulum Berbasis Kompetensi ( KBK ) bahkan belum bisa menemukan solusi yang tepat untuk menyikapi pelaksanaan ujian yang memunculkan beberapa protes yang banyak dimuat di beberapa waktu yang lalu , tiba-tiba ada instruksi bahwa setiap sekolah wajib dan harus menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ) yang terkesan terburu-buru. Munculnya KTSP ini pun tak urung menuai banyak pro dan kontra.
Perubahan ini dilakukan dengan harapan mengejar ketertinggalan dengan Negara lain. Dengan adanya globalisasi mampu membuka cakrawala berpikir masyarakat secara global . Apa yang terjadi di luar negeri dan dianggap baik bisa memberi aspirasi kepada sementara masyarakat kita untuk menerapkan di Negara kita ( Suprapto, 2005)
Padahal sebenarnya kita bisa menempuh debgan cara lain yang lebih arif. Frans Magnis Suseno seorang tokoh pendidikan berpendapat bahwa ,Pendidikan bukan semata soal “policy”. Pendidikan adalah sebuah keberanian untuk takut, kita harus berani untuk melakukan jalan lain . Masalah pendidikan yang ada di Indonesia cukup berlimpah, tapi perlu segera dibenahi dan yang paling penting adalah sektor pendidikan dasar 9 tahun bisa dinikmati semua bangsa dan tujuan pendidikan perlu ditinjau kembali.(Magnis, 2006)
Pro kontra adanya perubahan sistem pendidikan sulit untuk diberikan jalan tengah., terbukti dengan terus adanya perubahan yang relatif cepat.
Sampai sekarang ini Indonesia sudah mengalami perubahan sebanyak delapan kali , pertama tahun l947 kemudian tahun l952, tahun l968 dilanjutkan tahun l975, tahun l984, tahun l994 selanjutnya kurikulum 2004 dan dilanjutkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.(Drs.Sudaryono, 2006 )
Dengan kurikulum yang terakhir ini harapannya semua sekolah harus mengembangkan kurikulum masiong-masing. Menurut para guru , beliau diberi kebebasan mengembangkan sendiri-sendiri sesuai dengan karakteristik daerah, lingkungan dan kondisi siswanya.
Menyikapi hal ini T.Riyanto dalam buku Pembelajaran sebagai Proses Bimbingan Pribadi memberi solusi :Akan lebih senang jika pembelajaran memiliki ciri bertujuan mengembangkan daya imajinasi dan mengembangkan ketrampilan berkomunikasi, mengembangkan perasaan seseorang untuk menghadapi realitas kehidupan. ( T.Riyanto, 2002 )
Dengan cara yang diberikan oleh Riyanto di atas harapannya kurikulum tidak lagi mudah berubah karena guru bisa bebas berkreasi , mengembangkan wiri sesuai profesi . Sebaliknya siswa yang menerima beban kurikulum tidak merasa tertekan dan kadang merasa kasihan jika mendengarkan keluh kesahnya guru – guru dalam melaksanakan tugas dan yang paling berat adalah dalam penentuan kelulusan.
Memang sistem pendidikan di negara kita belum stabil, perubahan terus mengikuti seiring dengan bergantinya kepemimpinan , seolah-olah mengikuti selera pemimpinnya. Meski semua itu belum tampak adanya perubaha ke arah yang lebih maju.
Tentu saja hal ini membutuhkan penanganan yang serius dari para pelaksana pendidikan . Seterusnya kita para pelajar sudah semestinya ikut ambil bagian dalam mewujudkan sistem pendidikan yang mantap dengan cara rajin belajar, kritis untuk memecahkan permasalahan dan siap melaksanakan tugas dalam menghadapi tantangan zaman.
Sebaiknya kita tidak perlu risau sebab justru akan menjadikan diri kita ogah-ogahan tak punya semangat yang akan membuat pola pikir pelajar terbelenggu dengan suasana yang serba semu. Begitu pula para guru bisa bebas mengembangkan kreasinya tanpa dibebani urusan perubahan kurikulum dan pendidikan di Indonesia menjadi lebih cerah.. Semoga !
No comments:
Post a Comment